Minggu, 06 September 2015

Aurora di Bandung

August 22.
Chapter 1.



Setelah kelamaan sendirian, dan akhirnya terbiasa sendirian, dan akhirnya tidak terbiasa jika tidak sendirian, akhirnya gua tidak sendirian.

Memang membingungkan, tapi masa bodo.

I meet someone with no expectation but it seems everything is better. By meet, it means that I chat with someone, for I don't like physical meeting with anyone. For almost three months, we contacted through text, phone, and video call. After such digital means of communication, finally I went to her.

Jumat, 21 Agustus 2015.
Pagi hari gua pergi ke Bandung dengan travel. Tidak ada yang begitu penting di travel tersebut, palingan betapa kencangnya mobil elf yang dikemudikan - hingga menciptakan suara deru angin dan segenap jantung yang berdegup.
Persetan dengan travel, ternyata gua sampai di Baltos jam 10 tanpa masalah. Gua pun bertemu doi di Baltos. Sebagai tukang ojeg yang baik, dengan jujurnya dia berkata bahwa kita harus ganti motor dulu karena yang sekarang dia bawa adalah milik tantenya. Motor dia kemana? Diembat adeknya yang pada pagi hari minta pinjem karena takut telat. Alhasil, kami pergi ke Cihampelas untuk 'menjemput' motornya di sekolah adenya. 

Kami berhenti di suatu mini market yang warnanya biru merah kuning. Kami pun disambut oleh Syaiful Jamil di layar LCD. Kemudian, dia menelpon adiknya untuk menyerahkan motornya. Setelah 20 menit telfonnya ga diangkat oleh adiknya yang konon katanya sedang bersekolah, dia pun nyamperin sekolahnya.

"Kata satpamnya, hari ini sekolahnya libur."

Yasudah, kami pun langsung meninggalkan Syaiful Jamil dan beberapa biduannya di mini market tersebut. Kami pun berkeliling sebagian Bandung tanpa tau arah tujuan. Dia sendiri dengan cerdasnya nanya, "Lo mau kemana?". Gua, sebagai orang asing di Bandung, minta suka-suka dia aja. Akhirnya diputuskan kami pergi ke Punclut.

Iya, Punclut.

Namanya agak asing, terutama di telinga para primordialis dan kaum non-proletar.

Perjalanan ke Punclut agak muter-muter karena doi yang katanya tau jalan ternyata ngga begitu tau jalan, satu-satunya petunjuk yang dia punya adalah, "Perasaan kalo jalan ke Punclut tuh tinggal lurus lurus aja." Puji Tuhan yang menciptakan, memberkati, dan memiliki bumi dan surga, kami pun sampai ke sebuah saung langganan doi di Punclut.

Kami langsung pesan makanan, paket 1 (ayam, nasi, sambel, tahu, tempe, lalapan, teh anget). Selama menunggu makan kami pun melihat-lihat view di sekitar. Ternyata rumah doi yang ada di Cikole pun kelihatan dengan agak kurang jelas. Selama mengobrol menunggu makan, dia terus-terusan bersikukuh bahwa si empunya saung sedang masak ikan asin - apalagi mengklaim bahwa dia ikutan mesen ikan asin.

Kenyataannya?

Dia ga mesen ikan asin sama sekali.

Kami pun ngobrol terlebih dahulu sebelum menyantap. Kami juga sekalian video call dengan Madam Curhat yang entah kenapa pas lagi video call duduknya muter-muter kek orang kaga ngelamar tapi digaji di kantor. Dia merasa begitu berjasa dan berkontribusi atas hubungan kami berdua, ditunjukkan oleh wajah cekikikannya.

Kemudian kami makan, dan leha-leha lebih lama lagi di saung tersebut sambil melihat om-om yang menurut doi selalu membawa perempuan yang berbeda ke tempat tersebut.

***

Dari saung, kami pergi ke rumah doi untuk mengecek apakah sang adik tersayang sudah nangkring di rumah. Benar saja, motor doi udah ada dan si adek pun keluar dengan muka beler. Pertukaran moda transportasi hanya berjalan selama 5 menit, kemudian kami jalan lagi - tak lupa dengan titipan sang adik: pulsa paket dan buku tulis. Maklum, masih SMA.

Kami segera meluncur ke Braga.

Di Braga, kami berkeliling sambil berpegangan tangan - berharap nggak ketemu bapak Ridwan Kamil. Eh, tapi di tengah jalan ketemu volunteer yang kata doi suka upload foto buat sang Walkot. Kami melihat anak-anak gawl yang futu-futu di sana, kemudian Tobi dengan armornya si Kirito, dan berbagai hal lainnya.

Akhirnya kami kehausan dan pengen beli es krim.

Kami pergi ke mini market biru-merah-kuning lagi. Akhirnya terjadi surplus karena beli dua gratis satu. Alhasil, tangan belepotan lelehan eksrim dan perut penuh dengan susu, lemak, perisa, pengawet, dan pewarna buatan. Setelah menikmati bahan-bahan kimia itu, kami beranjak kembali ke Braga City Walk.

Di mal yang tidak begitu dingin itu, kami berkeliling sebentar sehingga tiba-tiba kami masuk bioskop dan nonton Hitman: Agent 47. Pas sekali, sesudah beli tiket ternyata film hendak dimulai. Untuk pertama kalinya dalam hidup, gua masuk bioskop yang ngga dingin. Kami duduk berjarak sela satu bangku dengan pasangan lain. Entah ada angin apa, doi minta jaket, kedinginan. Kami pun lanjut nonton film tanpa pegangan tangan, sender-senderan, atau hal klise lainnya yang dilakukan remaja lainnya.

Tak lama, film habis, kami segera cari makan. Namun, tak jauh dari bioskop ada toko mainan, akhirnya kebeli deh Monokuma abal-abal.

Di perjalanan menuju parkiran, kami diskusi sebentar apa yang ingin kami makan. Keputusan awal adalah: makan yang berkuah dan dengan perangkat makan seperti sendok dan garpu, agar menikur sang nona tidak rusak. Realitanya, seperti Undang Undang yang mudah direvisi dan janji pejabat, wacana tersebut kami ganti dengan Nasi Uduk Cinta. Kata doi, di situ kita kadang bakal dikasih siraman rohani oleh pengamen yang datang. Tapi, sampai kami kelar menyantap bebek goreng serta pretelannya, termasuk kol goreng, tiada jua pengamen yang cukup rohani datang berkhutbah, paling minta duit.

Selama makan, kami menghindari mas-mas bersweater hijau, yang notabene bekas temen kerjanya doi, dan nota bene lagi - paling penting - sedang bersama selingkuhannya

Kemudian, sebagai kakak yang baik, doi ngajak ke Borma, buat beli buku tulis untuk adiknya belajar. Kata dia, adiknya ga perlu buku banyak-banyak, belajar juga ngga. Oh ya, selain buku tulis yang tidak akan terpakai itu, doi ngebeliin daku tisu. Puji Tuhan.

Yasudah, kami tidak terlalu lama di toserba tanpa AC tersebut.

Kami segera pergi ke tempat di mana daku dititipkan, kosannya Kiko. Kemudian akan bertemu kembali esok hari.

Sabtu, 22 Agustus 2015
Pagi subuh, gua bangung untuk boker. Ternyata dinginnya Ledeng menjelang fajar bukan mitos belaka.  Cebok aja ga kuat. Akhirnya, setelah cebok, gua kembali tidur dan mengurungkan niat untuk segera mandi. Setelah bobo-bobo ucu, gua akhirnya pergi mandi di kamar mandi yang notabene tidak memiliki pengganjal ataupun kunci.

Tak kama setelah mandi, doi dateng, bawain nasi uduk. Gua sempet mainin Monokuma sebelum makan, sembari nunggu nona selesai ngulet. Btw, Monokumanya terlalu abal-abal, jadinya rusak.

Selesai makan, selesai ngulet, kami akhirnya berangkat lagi.

Kami segera pergi menuju tebing keraton. Di sana, akhirnya gua mengajukan diri buat jadi supir (mumpung kaga ada razia sim dll). Kami pun segera parkir di suaru checkpoint. Jarak dari checkpoint dan tebing keraton masih sekitar 2km. Tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya, jalan ke sana terlalu curam dan hancur, jadinya kami berniat berjalan.

Baru berjalan sebentar, dua abang-abang ojeg pada nyamperin. Dengan gigihnya beliau-beliau ini mengiklankan jasa ojegnya untuk pergi ke atas. Berhubung abang-abangnya pada ngomong sunda, jadinya si eneng sajalah yang menjawab. Betewe, abang-abangnya ngasih harga mahal: 30k ke Tebing Keraton. Kami (read: eneng) pun berusaha menawar melalui tolakan halus. Akhirnya, harga yang cocok pun ditemukan: 25k per motor. Berapa motor yang kami tumpangi? Satu. Kamipun threesome di atas motor yang mungkin gampang banget udzur setelah dikasih beban sedemikian rupa.

Sekitar 10 menit, akhirnya kami sampai di Tebing Keraton. Biayanya cuma 11k, itu juga udah termasuk biaya masuk Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda.

Pemandangan di atas sana lumayan indah. Matahari terik tetapi tetap sejuk. Hutan yang nampaknya seperti di negara lain. Serta beberapa homo sapien yang berserakan sembari mengambil foto. Tebing Keraton sendiri disebut tebing karena memang tebing. Beberapa manusia pun memberanikan diri untuk berfoto di ujung tebing, yang ketika anda kepleset sedikit, babay fever.

"Lo berani ga foto di situ?" sang nona bertanya.

Seketika otak gua mereplay info-info soal orang jatuh, kaya yang jatuh ke kawah sehabis foto di ujung tebing. "Nggak," jawab gua sekenanya. Masbod dibilang ga manly, masbod dibilang itu ada talinya. Untungnya, doi woles wae. Yowis, kita take some selfie perdana. Kiwkiwkiw.

Setelah selfie perdana, kami menyusuri sisi tebing yang lainnya, yang lebih sepi. Tapi tiada apa-apa, kecuali botol bekas kencing seseorang. Si Nona dengan kait gantungan di kakinya pun minta istirahat. Kami pun duduk sejenak di bawah semak-semak. Eh bentar. Maksudnya semak-semak, sebenernya kek jalan menurun tapi di atas kami ada semak-semak. Sorry, ane belum berani begituan.

Ketika kami mau lanjut jalan, eh ada bapak-bapak yang ternate kepo ngintipin kite. Bapak kira, kami ini bukan anak baik-baik. Jadi orang jangan cepet-cepet berburuk sangka atas orang lain. Ada banyak faktor dan variasi di dunia ini. Jadi, berburuk sangka menunjukkan bahwa anda kurang mampu berpikir.

Tapi bapak itu bener.

Meski kite kaga 'maen' sesuai ekspektasi dia (maaf mengecewakan, pak), kami bukan anak baik-baik. Buktinya selama ini si nona kalo bawa motor itu slengean dan sering mengumpat (terutama kalau dia yang salah).

Setelah duduk lagi di bawah pohon rindang, kami memutuskan pergi ke gua Jepang - mumpung tiketnya masih gratis.

Berbeda dari saat kami naik ke tebing keraton, pas balik ke parkiran kami sumpah kaga pake ngojeg. Kami jalan berdua, pegangan tangan, sampe parkiran di bawah, sampai bapak-bapak kepo tadi ikutan pegangan tangan ama istrinya.

Sampai di bawah, kami ga langsung ngacir. Kami ngaso dulu di warung. Kami beli roti kukus, bukan amanda, rasa coklat (meyses + gula). Nyang jagain warung pada ngomong pake bahasa Sunda. Si Nona pun menyanggupi, tapi ada emak-emak yang nanya ke gua pake basa Sunda, sekalian nanya gua tinggal di mana.

"Saya dua belas tahun tinggal di Bogor, tapi ga bisa bahasa Sunda, bu."

Mampuslah gua dibully.

Segenap teteh-teteh sama emak-emak langsung kepret gua dengan pesan bahwa gua harus bisa belajar bahasa Sunda, termasuk undangan bahwa gua boleh nginep seminggu di warungnya dan dijamin langsung bisa bahasa Sunda. Gua pun masbod. Gua lagi laper, mata gua tertuju sama bungkusan daun pisang yang isinya pisang dan manis serta enak banget.

Selesai mesen, kami duduk di saung kecil, selonjoran dengan kaki kami yang kotor kena debu. Tak lama, makanan kami datang. Betewe, sumpah, bagi kalian penggemar roti bakar, sebaik-baiknya roti bakar, lebih baik lagi roti kukus. Selain lebih sehat - tanpa minyak, roti ini juga lebih yahud. Kami berdua pun menikmati satu roti ini agar tidak terlalu kenyang nantinya. Kami mimpi beli rumah di dekat-dekat sana, agar setiap hari bisa menikmati lingkungan yang ajib, meski jawh dari mal.

Abis, makan, mau bayar, gua kembali digodain sama teteh-tereh warung.

Lanjut. Kami ke Goa Jepang yang ada di Tahura Ir. H. Juanda.

Suasana Tahuranya begitu asri. Ada pohon, ada anjing-anjing lucu, dan ada dedek-dedek maba yang lagi diospek...

Sesampainya di depan papan petunjuk, kami memilih gua Jepang karena kalo ke Penangkaran Rusa, kite harus jalan 2km.

Niat unyu itu pun agak dipudarkan oleh rasa takut.

Yekali jalan berdua doang ke ruang ultra gelap. Tapi, kami tetep masuk karena penasaran + kami denger ada suara rombongan orang. Berbekal senter hape, kami masuk. Ternyata, cahaya senter hape gua bahkan ga bisa nembus dengan jelas sampe ke lantai goa... Kami pun coba nyusul suara rombongan. Eh, semakin diikutin suaranya, semakin ilang. Kami segera keluar lagi. Kemudian, menemukan anjing lucu yang terikat di pohon.

Entah kenapa ini anjing sampe diiket sendirian, sementara anjing yang laen melalang buana dengan bebas. Ada orang yang coba biar si anjing ga kelilit. Sesudahnya, gua mengelus anjing itu. Tapi, si Nona agak risih katanye itu anjing kaga jelas dimandiin apa kaga, padahal mah unyu. Oh iya, si Nona juga bilang katanya rombongan pengunjung ngeliatin daku ngelus-ngelus anjing itu, menurutnya sebelum gua yang megang keknya agak galak. Huwiw.

Abis itu, kami akhirnya melihat ada rombongan masuk ke dalam gua. Menyadari hape gua kurang kuat intensitasnya, kami nyewa senter 5k aja. Biar berada di belakang, kami tetep ajib aja ngikutin rombongan. Tapi, kami sempet sedikit tersandung. Gua sih karena kaget tiba-tiba tanahnya rendah banget, sementara si Nona katanya ngeliat sesuatu dengan muka jelek banget. Yaudah kite keluar.

Biar agak atut ama goa gelap, kami ngejajal juga goa Belanda, 600 meter dari goa Jepang. Di dekat bibir goa, ada monyet yang pantatnya lagi dikobel-kobel monyet laen loh.

Pribadi gua sih, meski goa Jepang nampaknya lebih gelap tapi cuma bekas gudang atau basecamp aja, goa Belanda lebih ngeri. Goanya lebih terang dikit, tapi bekas penjara. Eyke atut cyin. Tak lama, kami pun menembus gunung melalui ujung goa Belanda tersebut.

Disambut banyak pepohonan, kite bingung mau kemana. Eh, ada papan penunjuk jalan, ajib deh milih-milih mau liat apaan. Tersebut lagi Penangkaran Rusa di papan tersebut, masih 1,6 km. Tetep nehi. Kami pun mengincar suatu curug yang tidak begitu jauh. Selama berjalan, si eneng selalu nanya, "Masih mau lanjut kan?" Ane mengangguk.

Dua puluh menit berjalan, kami mulai bergumam, "Ini dimane sih curugnye?"

Sepuluh menit lagi jalan, kami nemu segerombolan orang dengan suara air gemericik. Kata seorang bocah sih, ada curug tapi jelek. Yaudah kami nehi lagi. Jalan dikit lagi, ada yang ngasih arah bahwa curugnya nyebrang jembatan. Pas mau nyebrang, ada orang dari arah sana bilang cuma ada mata air, di balik semak-semak dan tidak begitu menarik. Kami nehi lagi.

Jalaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan teruuuuuuuus...

Kaga nemu juga curugnye. Beberapa kali tukang ojeg liwat, kami tolak. Malah ketemunya monyet-monyet di pinggir hutan.

Sekitar 25 menit kemudian, nyampelah kami di seberang Penangkaran Rusa - tempat jauh yang kami hindari. Muncul pertanyaan pertama,"Lah curug yang lebih deket tadi dimana dong ya?" Tapi ada pertanyaan lebih penting, "Dimanakah curug yang bagus itu?"

"Masih setengah jalan. Curugnya ada di Maribaya, empat kilo lagi."

...

Rasanya pengen banget lempar tuh gunung ke gunung lain. Yaudeh, kite jalan balik. Eh, si eneng bilang, "Mau ke penangkaran rusa kaga?" Menimbang jauhnya jalan muter ke rusa-rusa itu, gue tolak. Yaudeh kite balik terus sambil pegangan tangan.

Mendekati bibir goa, ada monyet berantem. Si eneng sok-sok ketakutan padahal kerjaannya mengumpat di jalan raya. Untung ada orang yang ngusir monyet tersebut. Lalu kami nembus goa itu fully sendirian. Lalu lanjut ke arah parkiran.

Eh, tetiba ada yang tereak

Ji
Dabel O
Di

Ji
O
Bi

Gud Job! Gud jab!

Mereka adalah anak-anak ospekan. Mereka berada di samping kami saat mendaki ke arah pintu keluar. Karena ga tahan, gua mengumpat sedikit secara pelan-pelan, "Jyi, daubel eu, di, jey, eu, bi. Good job." Eh, si empunya yel tersebut pada ngedenger. Yaudeh gua ajarin sekalian. #PhoneticNazi

Setelah kursus singkat, sekitar 30 detik, kami berdua pun meninggalkan lokasi Tahura tersebut.

***

Kami pun jalan ke Cihampelas (kalo ga salah). Sampai di sana, kite nyari makan. Bosan dengan goreng-gorengan yang berminyak dan berkolesterol, kita nyari warteg. Selama nyari tempat makan yang enak, dia pun menceritakan tempat kerjanya dulu - karena kite emang deket tempat kerjanya. Hampir 20 menit kita nyari warteg yg bersih. Tapi karena sudah lemas, akhirnya pilih yang ada saja - meski rasanya tidak begitu enak.

Abis makan, hati senang kembali, langsung cari oleh-oleh.

Doi bantu cariin. Akhirnya daripada pergi ke toko yang jauh, yaudeh kite beli oleh-oleh dari abang-abang yang punya stand di pinggir jalan. Gua pun pengen bawa pulang molen Kartika Sari. Doi sibuk milih-milihin mana yang bentuknya bagus, sementara gua diem aje nontonin.

Tiba-tiba tangan gua keserempet motor, njir.

Bapak-bapak berseragam loreng-loreng bawa motor dengan kencang tanpa bahkan menoleh kebelakang meski udah nyerempet orang. Untungnya cuma bikin sakit aja, kaga luka yang begitu berarti. Kemudian, gua mengabaikan rasa sakit itu dan kembali ngeliatin proses pembelian oleh-oleh. Si eneng yang bayarin, keknya buat sogokan ke camer. Herew.

Kemudian, kami menuju terminal Ledeng.

***

Sabtu sore, Bandung mulai macet, terutama yang menuju Lembang - searah dengan kami. Untungnya naik motor, jadi lancar-lancar aja. Kembali kami melihat tempat-tempat yang sudah kami lalui. Borma, belokan ini, belokan itu. Jalan ini, jalan itu. Perhatian kami sempat teralihkan dengan bis DAMRI, sebab itu adalah bis yang perlu kami tumpangi untuk ke terminal Leuwipanjang.

Doi makin ngebut.

Sebelum bis tersebut sampai di terminal Leuwipanjang, kami sudah terlebih dahulu sampai - sampai di alpamareut seberang UPI. Beli minum dan sedikit bekal untuk perjalanan. Di kasir, doi ngomong ke mbanya, "Mba yang cantik, ada ini ga?". Barang yang diinginkan ngga ada, doi bilang, "Yah, mbanya ga jadi cantik deh." Tapi kemudian kembali bilang cantik karena mau nitip motor di parkiran mini market tersebut. Tabiat buruk manusia: jilat sana sini.

Kami pun jalan ke terminal yang cuma beberapa meter, dan ternyata sudah ada bis DAMRI yang siap berangkat. Tapi, kualitasnya jauh beda dari yang kami lihat tadi. Yang tadi, warnannya biru, bagus, keknya ada AC, mirip-mirip bis APTB di Jabodetabek. Yang kite naikin? Metro Mini dengan AC ghaib...

Untungya kami dapat tempat duduk.

Di sepanjang perjalanan kami mengobrol lagi - tapi gua lupa ngobrol apaan. Sebagian yang gua inget adalah doi membangga-banggakan Bandung, ini tempat apa, itu tempatnya siapa, ataupun daerah yang belum pernah dia sambangi di Bandung. Tapi, yang paling gua inget adalah saat hampir sampai ke terminal.

Tujuan utama gua selain dating sama dia di Bandung adalah untuk make things official. Tapi, zaman sekarang dan umur segini, tembak-menembak itu basi. Gua pun bisik ke dia, "Should I confess like those cheesy people? We had already been in a comfortable position." Well... gua lupa beneran kek gitu apa ngga, tapi intinya ya gua ga pake tembak-menembak lah. Doi pun menjawab dengan suatu iya, mengartikan kami akhirnya resmi.

Makin dekat dengan Leuwipanjang, gua makin deg-degan.
Gua berkali-kali mempersiapkan diri kalau-kalau terminalnya sudah dekat.

Sampai di Leuwipanjang, sehabis bayar ke supir, sehabis gua pipis dan minta doi beliin minum lagi, kami segera menuju bis Cibinong-Bandung. Melalui gang-gang sempit yang diciptakan bis yang sedang parkir. Tak lama kemudian, ketemulah bisnya. Gua tarik tangan dia menuju hingga naik ke bis. Sampai di atas bis, gua langsung taro tas di bangku. Gua pengen turun sebentar sebelum pergi ninggalin doi.

Tapi tiba-tiba dia meluk gua.
And I hug her back.

"Kamu hati-hati ya, baby."

Kemudian dia segera turun, menghilang dari pandangan.

Rasa deg-degan yang datang dari tadi makin kencang. Gua nyari dia melalui jendela bis. Sempat terlihat sekali dia berbelok. Kemudian gua duduk, mengambil hape. Gua kirim BBM.

I love you.
I love you.
I love you.
I love you.
I love you.
I love you.
I love you.
I cannot stop saying this.

Agak lama sampai dan dibalas olehnya, karena dia segera naik bis DAMRI yang kami naiki tadi. Dia bilang, "Me too." Kami pun berjanji segera bertemu kembali. Saling berterima kasih atas apa yang sudah kami berdua alami dari Jumat pagi hingga Sabtu sore ini. Kami benar-benar ingin bertemu lagi.

Tak lama, bis gua pun berangkat. Bis dia pun juga berangkat dan nampaknya dia pun bilang akan balas lagi nanti karena ada orang mencurigakan di dalam bis.

Kami pun semakin berpisah. Bis gua menuju tol, bis dia menuju Ledeng.

Gua kenakan headphone. Play lagunya Maliq & D'Essentials - Aurora.
Untuk menenangkan diri.

***

Well, itulah sekilas tentang pertemuan gua dengan dia Georgina Grisella Claudia Veronica Blandine.

Since that time, I am always hers.

I cannot put many commentary on this. But the thing is, I wanna meet her again, and again, and again, and again. I hope this LDR will be good.

Seperti akhir dari lirik Aurora

Sampaikan salam untuknya, dari hati lalui tanah air udara.
Sampaikan, bahwa aku kan datang. 
Aku kan datang pula
Aku kan datang pula 
Aku kan datang pula.
Melalui Aurora. 

I love you, Cells.


That's all.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar :D

Diberdayakan oleh Blogger.

Subscribe