"Aku memang ada, di tengah keramaian yang terlalu sepi"
Catatan Sang Terkutuk
(by. D. Stevanus W)
Banyak orang bilang, aku periang. Didera, dicaci, dilecehkan, dan diperlakukan seburuk apapun, aku tetap bisa tertawa dan segera riang kembali tanpa menitikkan air mata. Banyak orang juga bilang, aku ini orang yang panjang sabar. Sabar sekali saat dibuat menunggu, menunggu, dan menunggu selama apapun aku terus menunggu tanpa mengeluh, padahal itu tindakan yang bodoh. Dibuat sakit hatipun, tak pernah aku anggap sebagai sebuah kesalahan. Ada juga yang bilang, aku adalah orang yang baik. Tidak pernah mendendam, selalu minta maaf jika dituduh bersalah. Menolong orang, tanpa memikirkan resiko dan kerugian bagi diri sendiri.
Kata mereka aku selalu diam. Bersabar, memperhatikan sekelilingku. Menikmati kebersamaan dan kebahagiaan yang sedang dilakukan oleh teman-temanku walau aku tidak diajak dan hanya bisa melihat dari kejauhan. Mereka juga berkata bahwa aku juga terlalu baik. Memberikan pertolongan kepada siapapun. Menolong teman-teman yang memang membutuhkan, hingga orang yang membutuhkan pertolongan tapi dianggap tak pantas untuk diberi pertolongan. Mereka juga bilang bahwa aku terlalu peduli terhadap orang lain. Terlalu ingin tahu masalah yang dipikul orang lain. Terlalu peduli dan khawatir dan ingin menolong. Sehingga aku lupa diri. Larut dalam kekhawatiran yang mereka anggap tidak perlu.
Demikianlah pendapat bodoh dari orang lain mengenai diriku. Segala kebaikanku dan sebagainya. Segala keunggulanku dan hal lainnya. Serta beberapa hal menyedihkan tentangku yang ternyata bisa dibanggakan oleh mereka. Segala pandangan mereka yang tidak terlalu salah. Namun tidak kuanggap benar. Ya, mereka bodoh. Atau mungkin benar, tapi tetap saja bodoh. Bodoh, bodoh, dan bodoh. Kukatakan itu bukan karena aku memang pintar, hanya saja itulah fakta dari sifat mereka.
Tidak. Aku tidak benar-benar tulus melakukannya. Mungkin saja memang aku tulus, namun dibalik sifat-sifatku itu, tentu saja ada penyebabnya. Yap, "ketulusanku" dalam melakukan semua ini bukan karena saya baik. Secara genetik, tak ada sejarah bahwa nenek moyangku sebaik aku. Tidak. Semua sifatku ini hanyalah akibat, dampak, atau bukit kejamnya lingkunganku. Oke, tidak sekejam itu. Hanya saja, aku terbentuk dari rasa sepi. Aku adalah aku. Aku yang sekarang, bukan yang dulu atau besok, atau lusa dan seterusnya. Aku yang sekarang ini adalah implementasi dari buruknya perhatian orang-orang di sekitarku.
Masyarakat, tetangga, orang-orang yang kuanggap teman, orang-orang yang mengaku teman, dan bahkan keluargaku sendiri. Mereka semua yang berasumsi bahwa mereka tidak memiliki keegoisan, tapi kepedulian luar biasa. Heran. Aku terheran-heran. Kuanggap mereka semua busuk, walau mungkin saya juga.
...
Dari kecil, aku sering diajak jalan-jalan. Ke taman ria, restoran fast food, ataupun supermarket dan mall. Ya, biasanya aku dijanjikan akan dibelikan apapun yang kumau. Apapun yang kupilih. Apapun yang kuimpikan dan yang ingin kumiliki. Tapi sial, Jjika ditanya mau beli apa oleh orang tua atau paman dan tante, akhir-akhirnya yang dibeli adalah yang mereka pilihkan. Pilihan mereka semua buruk. Mungkin aku terlalu egois. Atau mungkin mereka tak punya uang. Tapi kenapa saudara-saudaraku sendiri selalu dapat apa yang ia pinta? Kenapa orang lain, anak teman mereka selalu dapat yang terbaik? Dan kenapa selalu aku dan aku dan aku yang selalu diminta oleh mereka untuk mengalah?
"Dik, kamu ngalah aja sama dia ya. Nanti dibeliin deh."
Setan. Persetan dengan ucapan mereka, dengan janji-janji kosong yang hampa tanpa keberadaan kenyataan. Sejak saat itu, aku belajar: bahwa aku tak akan mendapatkan apa yang aku harapkan. Karenanya akupun jarang berharap bagi diriku sendiri. Sebab doaku jarang terkabul jika isinya permintaan untuk keuntunganku sendiri.
Belum lagi teman-temanku.
Semua sifatku dipuji mereka karena satu tujuan. Semua keberhasilanku dibanggakan untuk satu tujuan. Tujuan yang menurutku - yang egois ini - adalah brengsek. Yap. Aku bukanlah alat atau mesin. Aku tidak suka digunakan. Aku tak mau jadi barang yang hanya bisa dimanfaatkan dengan mudah. Babi bangsat.
Aku selalu ditinggal sendirian di bangku kelas. Sementara mereka semua berbincang bermacam-macam dan merencanakan sebuah acara dengan gembira. Sekali aku nimbrung, senyum dan tawa mereka pupus. Beberapa dari mereka bubar. Tapi tiap kali aku mundur, mereka kembali bergabung dalam kebahagiaan. Dan aku pun kembali sendiri dengan gambar yang sedang kubuat.
Pasti banyak yang bertanya, kenapa akhirnya mereka memujiku.
Pujian mereka itu bersifat temporer. Sementara. Ya, sangat sementara. Kapankah itu? Hanya pada saat ada tugas dan ujian saja. Mereka akrab kepadaku hanya pada ujian semester. Yah, apa boleh buat, aku hanya bisa membalas senyuman mereka dan membantu mereka.
Jika aku tidak membantu. Cacian akan datang. Aku ditahan mereka dan lalu dipukuli sampai aku menurut. Itu di sekolah. Tempat orang-orang dididik. Tempat pendidikan pengetahuan dan moral. Ya, moral. Nilai dan norma. Tapi bahkan di depan guru PKn pun aku tidak pernah diselamatkan. Ya, di depan Kepsek pun aku yang sedang dihajar tidak dapat pertolongan. Saat aku datangi guru Konseling. Guru yang (seharusnya) bisa dipercayai oleh murid, dan bisa mengerti pikiran dan perasaan murid. Ironisnya jawaban guru tersebut terlalu simpel.
"Makanya, kamu jangan sok jagoan.". Lalu aku diusir dari ruang konseling.
Bangsat.
...
Dari semua itu. Semua yang benar-benar terjadi dalam hidupku. Aku belajar sesuatu yang berharga. Aku belajar sesuatu yang salah. Banyak orang yang mengaku teman berkata bahwa aku salah. Tidak, aku tidak salah. Aku tidak salah sebab inilah kenyataan. Aku yakin kalau aku benar.
Kusimpulkan bahwa hidupku itu hanya untuk orang lain. Aku tak akan punya waktu untuk mendapatkan perhatian yang sejajar dengan semua orang yang tidak memperhatikan keberadaanku. Aku tak akan dipedulikan, tapi aku dipaksa peduli terhadap orang lain. Aku takkan mungkin mendapatkan apa yang kumau. Harapanku semuanya akan jadi sia-sia. Teman-temanku palsu. Keluargaku semu.
Lalu siapakah aku? Apa tujuanku hidup? Dibuat sakit hati lalu mati? Diperdaya lalu mati? Dimanfaatkan lalu dibunuh? Begitukah? Betapa adilnya hidup ini. Di saat semua orang bisa bahagia, aku harus menanggung semua ini agar keseimbangan dunia bisa terjaga. Sial. Sialan.
...
Inilah. Hidupku yang penuh dengan ketidakadilan dan rasa sepi. Temanku hanyalah rasa sepi. Ya, dia sangat setia menemaniku di setiap kesialan hidupku. Ya, aku tak tahu kapan aku bisa berhenti berteman dengan dia. Aku juga tak tahu kapan dia akan menemukan teman baru dan meninggalkanku seperti halnya orang-orang yang mengaku sebagai temanku.
Mungkin, ya, mungkin.
Mungkin aku akan terperangkap selamanya. Bersahabat baik dalam keabadian bersama rasa sepi. Percuma aku berdoa dan berharap yang muluk-muluk. Aku tak akan mungkin punya teman. Aku hanya alat bagi orang-orang. Aku hanya benda pelengkap saja, tidak perlui perhatian. Meski kuanggap ini semua adalah kutukan genetik, mungkin...
...aku harus terbiasa dengan semua ini. Kutukanku...
Ya, harus...
Mati sajalah aku dalam kutukan ini...
***
DISCLAIMER:
The picture is NOT MINE, and the character in the picture is NOT MINE TOO. The pic and the character belong to it's respective owners.
Aku suka cerita2 tema kayak gini. Kesepian, bullying, yah pokoknya yang kayak-kayak gini lah. :)
BalasHapussekadar saran aja, kalo nulis cerpen, show it. don't tell. maksudnya, tunjukkan adegannya juga. jangan hanya menceritakan apa yang dialami sang tokoh. karena itu lebih kelihatan sebagai curhatan tokoh daripada sebuah cerita.
Ditunggu cerita2 berikutnya!