Kesendirian yang menyakitkan bisa membawamu pergi
Hari ini, beberapa saat yang lalu gue baru aja pulang ngebolang, ya, ngebolang. Pergi tanpa tujuan. Pergi mengikuti arah angkot akan berhenti. Gue bosan banget di rumah. Ga ada yang bisa diajak bicara baik secara lisan ataupun tulisan. Semuanya pada pergi walau udah ditungguin. Sadar bahwa gue sudah mulai tolol menunggu, akhirnya setelah bersiap-siap, gue pun cabut dari rumah tanpa sepengetahuan orang rumah. Toh di rumah juga ngga ada siapa-siapa yang bisa diajak bicara. Rumah gue kosong. Walau hilang, takkan ada yang repot mencari.
Tujuan gue simpel: cari teman bicara.
Bukan jalan-jalan. Bukan foya-foya.
Bukan jalan-jalan. Bukan foya-foya.
Gue pergi ke sekitar bogor. Yah, gue sengaja memulainya dari tempat yang ngga gue kenali, sekitar Bubulak. Gue turun angkot di situ. Yap, gue sangat asing dengan tempat itu. Akhirnya gue terus berjalan dan berjalan, hingga akhirnya nanya jalan ke beberapa orang yang ada di pinggir jalan.
Gue turuti arahan dari mereka. Pergilah kesini, kesitu, naik ini disitu, lalu turun disitu. Akhirnya gue turun di dekat mall tempat waktu gue ketemu dengan seseorang. Gue diam di dekat pos satpam. Pura-pura menunggu angkot, padahal bengong. Akhirnya gue menyebrangi jalan, jalan menyusuri jalan yang tidak sepi dan asing. Melewati orang-orang yang tidak peduli.
Tiba-tiba gue sampai di depan gerbang KRB. Ga ada niat untuk masuk, gue berhenti saja tak jauh dari gerbangnya, bersandar pada tembok dan pagar yang tidak ditempati oleh para pedagang. Diam, memperhatikan sekeliling. Orang-orang domestik, para turis asing, makanan, polusi udara dari kendaraan, polusi suara dari angkot yang keterlaluan, serta beberapa hewan yang terpenjara di dalam kandang sempit, dijemur bagi para pemilik yang meneduh di bawah bayangan pohon.
Jadi hewan yang terpenjara itu, mungkin enak. Ada teman satu sel yang bisa diajak bicara setiap saat sampai saatnya kita dijual dan dipermainkan majikan baru kita. Ditaruh di kandang, diberi makan, dipermainkan, dimandikan, diberi makan, dimasukkan ke dalam kandang. Dipaksa berlari di atas roda dan pura-pura menikmatinya demi kesenangan sang majikan yang bodoh.
Tapi terkekang itu ngga enak.
Gue ga suka berada di suatu tempat yang sama dalam waktu yang terlalu lama, dan ruang yang sempit. Gue ga mau duduk. Gue mau lari sekuat tenaga hingga gue tewas. Merasakan udara segar dan panasnya matahari, serta kadang dinginnya hujan yang mengguyur dan polusi. Gue ga mau terkekang. Diri gue akan memberontak, dengan halus walau sekuat mungkin. Gue bukan tahanan, gue manusia yang hidup dan bebas dan aman dan sejahtera.
Karenanya, saat gue lihat kucing jalanan yang berdiam di samping gue. Gue pikir, mungkin tak ada salahnya jadi kucing. Bebas berlari, mengejar tikus atau kupu-kupu. Tak ada yang menahan atau mengekang kita dalam kebosanan. Bebas memilih tempat tinggal setiap harinya. Menemukan hal yang baru. Makan sampah, atau dari rasa iba orang yang melihat atau mencuri makanan. Lalu berebut makan dengan kucing lain. Duduk diam, tak berkutik berteduh dari hujan, lalu diusir orang dan akhirnya hujan-hujanan. Berlari, berlari mencari tempat tinggal. Terus berlari. Mati tertabrak mobil.
Gue melanjutkan langkah gue. Berjalan terus sampai ke halte. Diam, menunggu yang ngga ada. Berteduh dari cuaca di langit. Beberapa bus lalu lalang dan kutinggalkan begitu saja. Bapak-bapak di sebelah gue menghampiri dan menanyakan jalan. Gue bantuin dia dengan menanyakan kepada beberapa kernet dan orang lain di sekitar kami. Lalu kami menunggu dan berbicang beberapa saat. Sempat kami tertawa sejenak karena pembicaraan kami, yap, tawa yang sudah ngga gue lakukan setelah selesai UN dan teman-teman menghilang. Dia yang tidak kenal gue terasa lebih care walau itu hanya formalitas. Ketimbang formalitas karena ingin care yang biasanya gue dapatkan.
Yah, setidaknya sampai bapak itu dapat bus, gue dapet teman yang bisa diajak bicara. Walau pembicaraannya tidak terlalu seperti sahabat, namun kami saling mendengarkan dengan seksama. Tidak seperti orang yang intim namun tidak (mau) saling mendengarkan. Yap, tujuan gue tercapai.
Akhirnya, dalam kelelahan, dan rasa puas, gue pulang.
That's all
Tiba-tiba gue sampai di depan gerbang KRB. Ga ada niat untuk masuk, gue berhenti saja tak jauh dari gerbangnya, bersandar pada tembok dan pagar yang tidak ditempati oleh para pedagang. Diam, memperhatikan sekeliling. Orang-orang domestik, para turis asing, makanan, polusi udara dari kendaraan, polusi suara dari angkot yang keterlaluan, serta beberapa hewan yang terpenjara di dalam kandang sempit, dijemur bagi para pemilik yang meneduh di bawah bayangan pohon.
Jadi hewan yang terpenjara itu, mungkin enak. Ada teman satu sel yang bisa diajak bicara setiap saat sampai saatnya kita dijual dan dipermainkan majikan baru kita. Ditaruh di kandang, diberi makan, dipermainkan, dimandikan, diberi makan, dimasukkan ke dalam kandang. Dipaksa berlari di atas roda dan pura-pura menikmatinya demi kesenangan sang majikan yang bodoh.
Tapi terkekang itu ngga enak.
Gue ga suka berada di suatu tempat yang sama dalam waktu yang terlalu lama, dan ruang yang sempit. Gue ga mau duduk. Gue mau lari sekuat tenaga hingga gue tewas. Merasakan udara segar dan panasnya matahari, serta kadang dinginnya hujan yang mengguyur dan polusi. Gue ga mau terkekang. Diri gue akan memberontak, dengan halus walau sekuat mungkin. Gue bukan tahanan, gue manusia yang hidup dan bebas dan aman dan sejahtera.
Karenanya, saat gue lihat kucing jalanan yang berdiam di samping gue. Gue pikir, mungkin tak ada salahnya jadi kucing. Bebas berlari, mengejar tikus atau kupu-kupu. Tak ada yang menahan atau mengekang kita dalam kebosanan. Bebas memilih tempat tinggal setiap harinya. Menemukan hal yang baru. Makan sampah, atau dari rasa iba orang yang melihat atau mencuri makanan. Lalu berebut makan dengan kucing lain. Duduk diam, tak berkutik berteduh dari hujan, lalu diusir orang dan akhirnya hujan-hujanan. Berlari, berlari mencari tempat tinggal. Terus berlari. Mati tertabrak mobil.
Gue melanjutkan langkah gue. Berjalan terus sampai ke halte. Diam, menunggu yang ngga ada. Berteduh dari cuaca di langit. Beberapa bus lalu lalang dan kutinggalkan begitu saja. Bapak-bapak di sebelah gue menghampiri dan menanyakan jalan. Gue bantuin dia dengan menanyakan kepada beberapa kernet dan orang lain di sekitar kami. Lalu kami menunggu dan berbicang beberapa saat. Sempat kami tertawa sejenak karena pembicaraan kami, yap, tawa yang sudah ngga gue lakukan setelah selesai UN dan teman-teman menghilang. Dia yang tidak kenal gue terasa lebih care walau itu hanya formalitas. Ketimbang formalitas karena ingin care yang biasanya gue dapatkan.
Yah, setidaknya sampai bapak itu dapat bus, gue dapet teman yang bisa diajak bicara. Walau pembicaraannya tidak terlalu seperti sahabat, namun kami saling mendengarkan dengan seksama. Tidak seperti orang yang intim namun tidak (mau) saling mendengarkan. Yap, tujuan gue tercapai.
Akhirnya, dalam kelelahan, dan rasa puas, gue pulang.
***
Mungkin beberapa dari yang nyasar dan bukan dengan kehendaknya membaca tulisan ini, adakah kalian yang sadar, betapa terkekangnya diri kita masing-masing?
Kita ini seharusnya ngga hidup bebas. Hidup bebas itu cuma, ya hidup, dan bebas hidup. Secara pribadii, gue ga mau begitu. Gue ga mau hidup bebas. Tapi gue ingin hidup dan bebas.
That's all
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar :D