Dibalik awan hitam (Efek Rumah Kaca - Desember)
Berkali-kali sudah gue merasakan hujan di sekitar gue. Kadang hanya bisa melihat dan menunggu, atau sesekali diterpanya. Oh iya, sudah berkali-kali pula gue menulis tentang hujan di blog gue yang 'kecil' ini. Ya, sebegitu sukanya gue terhadap hujan. Tetesannya yang turun dari langit tidak pernah bosan membuat gue terkesan dan merenung. Hati gue selalu tenang kalau ngeliat hujan, except hujan es atau hujan badai.
Beberapa pernah bilang bahwa gue norak. Mereka heran, mengapa tetesan yang membosankan dan merusak penampilan selalu gue hargai. Tentu, rasa suka gue terhadap hujan memiliki sebab. Baik yang bisa diterima ataupun tidak. Namun tak gue acuhkan pendapat mereka, gue tetap suka hujan.
Alasan mengapa gue suka hujan, yaitu karena di dalam hujan terdapat kenangan. Dan kenangan tersebut selalu terangkat jika sedang hujan. Terangkat dari dasar ingatan dan mengapung di permukaan sehingga bisa menyentuh hati gue. Kadang ada rasa yang tidak pernah gue sadari pun ikut menemani di tengah hujan.
Ah, mungkin kalian pikir gue terlalu sentimentil tentang hujan. Katakan saja hati gue selembek cewek kalo kena hujan, terserahlah. Tak peduli seberapa besar pendapat kalian, gue tetap suka hujan. Sebetapa sakit dan banyaknya ejekan pun tak akan kubiarkan menghilangkan rasa gue terhadap hujan.
Dan, berikut beberapa kenangan gue bersama hujan:
...
Di SD, sebelum masuk ke kelas gue sering beli kue yang setengah matang. Kue tersebut berwarna hijau dan bentuknya mirip kue cucur, di atasnya ditaburi beberapa batang meyses kecil. Payahnya, sampai sekarang gue ga tau nama dari kue tersebut. Sambil makan kue tersebut pun gue keliling sekolah atau hanya duduk di depan kelas sambil mengobrol atau hanya sendirian sambil diledek orang lain. Kalau kuenya sudah habis, gue menaruh tangan di bawah ujung genting agar hujan membasuh tangan gue. Lalu gue masuk kelas.
Semua terlihat berbeda saat di SMP. Waktu itu langit lebih gelap, juga lebih dingin. Tidak ada yang menjual kue seperti di SD sehingga gue tidak bisa menghangatkan diri. Sehingga satu-satunya yang bisa menghangatkan pagi hanya obrolan bersama 'teman-teman' sekelas. Duduk di depan ruang guru sambil ngeliatin hujan. Oh iya, di SMP sepertinya hanya gue yang mewakili kaum adam untuk membawa payung. Dengan demikian gue jarang tersiram air hujan. Kadang, gue membantu beberapa guru kesayangan untuk menyebrang melewati hujan dengan payung gue. Sekarang payung itu sudah berkarat, entah pula ada di mana.
Kemudian di SMA, gue frekuensi hujan makin tinggi. Di depan SMA sering tergenang air. Sehingga mau tak mau sepatu terancam kebasahan, tapi sebisa mungkin gue menghindari genangan tersebut. Gue pun harus 'mengkesetkan' sepatu di atas kardus ataupun keset yang disediakan. Masuk ke koridor, tampak ramai anak-anak lain yang mengobrol. Setelah masuk ke kelas, gue jajan ke kantin, karena pada saat itu perut gue lemah terhadap hawa dingin. Sering kali gue menghembuskan nafas hangat ke dalam kepalan tangan, sementara orang lain sibuk mengobrol dan mengeluh akan penampilannya.
Kalau di rumah. Minimal, gue harus ngeliat ke luar jendela. Sering juga gue bersender ke pagar untuk melihat hujan lebih dekat. Atau kadang gue hanya duduk diam di kamar sambil ngeliat keluar, dan diam. Betapa malasnya gue untuk membuang waktu demi secangkir minuman hangat. Hujan terlalu berharga untuk dilewati begitu saja. Karena gue takut, esok hari gue ga bisa ngelihat hujan lagi.
Kalau di rumah. Minimal, gue harus ngeliat ke luar jendela. Sering juga gue bersender ke pagar untuk melihat hujan lebih dekat. Atau kadang gue hanya duduk diam di kamar sambil ngeliat keluar, dan diam. Betapa malasnya gue untuk membuang waktu demi secangkir minuman hangat. Hujan terlalu berharga untuk dilewati begitu saja. Karena gue takut, esok hari gue ga bisa ngelihat hujan lagi.
...
Kalau hujan, gue sebisa mungkin ngedengerin lagunya Efek Rumah Kaca. Namun gue suka hujan sepanjang tahun, ga cuma selama bulan Desember aja. Selain lagu, gue juga sering membayangkan wajah-wajah orang yang gue sayangi, yang jumlahnya terbatas. Gue kangen mereka, dan gue ingin melakukan sesuatu bersama mereka. Walau ada kenyataan yang berkata, "Itu tidak mungkin.". Beberapa kali gue ingin berdiri di tengah hujan sambil menangisi ejekan dari kenyataan. Tapi selain karena takut tersambar petir, gue ga mau tambah dianggap gila oleh manusia yang ada di sekitar gue. Jadi gue putuskan untuk menangis dan teriris di dalam hati saja.
Kalau hujan, gue sebisa mungkin ngedengerin lagunya Efek Rumah Kaca. Namun gue suka hujan sepanjang tahun, ga cuma selama bulan Desember aja. Selain lagu, gue juga sering membayangkan wajah-wajah orang yang gue sayangi, yang jumlahnya terbatas. Gue kangen mereka, dan gue ingin melakukan sesuatu bersama mereka. Walau ada kenyataan yang berkata, "Itu tidak mungkin.". Beberapa kali gue ingin berdiri di tengah hujan sambil menangisi ejekan dari kenyataan. Tapi selain karena takut tersambar petir, gue ga mau tambah dianggap gila oleh manusia yang ada di sekitar gue. Jadi gue putuskan untuk menangis dan teriris di dalam hati saja.
Gue pun punya impian. Impian gue ga neko-neko. Gue pengen punya rumah yang cozy, ga terlalu besar namun ga kecil. Gue pengen tinggal sendirian di dalamnya. Duduk di teras atau diam di atas tempat tidur. Ditemani susu hangat atau teh. Duduk diam menatap hujan selama berjam-jam. Setidaknya, gue ingin melakukannya sebelum gue mati.
Tapi, biarlah gue mati. Sebab gue ingin bergabung bersama hujan, sebab tiada yang peduli saat gue hidup. Mungkin, ada orang lain di luar sana yang juga menyukai hujan, dan gue ingin menjadi hujan untuknya.
That's all.
...
Pics are taken from google picture search.
...
Pics are taken from google picture search.
ciyee pria melankolis
BalasHapusaku juga suka hujan :) *tos*
semua yg kau katakan tentang hujan tak ada yg dapat kubantah satu pun.
BalasHapusAku sangat menyukai hujan dengan alasan yg sama sepertimu.
...sebab tiada yang peduli saat gue hidup.
BalasHapus