Rabu, 25 Januari 2012

Ego Saya

Sayang itu tak harus memiliki.
Namun, apa daya...



Pada awalnya, gue ga terlalu peduli dengan orang lain.
Mereka dengan urusan mereka, gue dengan pikiran gue.

Sebab, dari awalnya, gue emang sendiri.
Well, memang banyak orang yang lalu-lalang di sekitar gue. Ya, setidaknya orang yang 'bersama' gue agak lebih banyak dibandingkan dengan orang lain. Namun tetap saja sepi.

Ya, sepi.

Banyaknya orang tidak menjamin kebahagiaan. Sebab formalitas itu menjamur. 
Teman di sekolahmu berteman denganmu bukan karena dia memang ingin jadi temanmu, tapi hanya karena kalian terjebak dalam satu sekolah yang sama. Keluarga besarmu, kau kira untuk apa mereka tersenyum kepadamu? Sayang kepadamu? Tidak. Itu hanya karena kalian adalah keluarga, jika bukan, untuk apa tersenyum? Jangan kira mereka semua tulus. Alih-alih mengakuinya, semua orang berdalih mengatakan "Pertemuan kita takdir".

Banyak orang yang bisa tersenyum dalam hubungan yang terjalin karena formalitas. Banyak orang yang bisa tersenyum dalam kekerabatan yang dibuat dengan rasa yang semu. Tapi gue ga bisa. Gue ga bisa sebegitu bebasnya tersenyum dalam hal-hal yang bertopeng. Gue ga bisa tersenyum dengan tulus.

Untuk beberapa saat, gue sebegitu sepinya...

Setelah cukup lama berdiri bersama orang yang sama, ternyata rasa sepi itu berkurang.

Seorang teman datang dan menunjukkan sisi lain.
Dia agak mati-matian bikin gue tersenyum, walau kami hanya sebatas teman, walau dia sudah punya pacar.
Dia bilang, "Kalau tidak bisa tersenyum, kenapa ngga buat orang lain tersenyum aja?".

Dia mengajari gue, bahwa suatu saat di dalam hidup, kita akan menemukan orang-orang yang kita sayangi. Walau mereka belum tentu menyayangi kita, ataupun mau disayangi oleh kita.

Gue mulai membuka mata yang baru.
Tak sadar, sudah banyak orang yang tersayang.

Walau gue ga bilang, gue sayang kepada mereka yang gue sayangi. Di antara mereka, ada saja yang bergerak, seperti ingin mengatakan tidak mau disayangi oleh gue. Ya sudah, gue berhenti menyayangi orang itu, karena gue sayang. Lalu, tiba-tiba muncul saja orang-orang yang sangat gue sayangi. Dan gue makin sayang mereka.

Sampai gue tidak berpikir untuk bisa melepaskannya.

Di dalam rasa sayang ini, ternyata ada yang bersembunyi.
Dialah ego.

Gue ga mau mereka sakit.
Gue ga mau mereka sedih.
Gue ga mau mereka terluka.
Gue ga mau mereka berusaha tersenyum dalam tangis.
Gue ga mau kehilangan mereka.
Gue ga mau mereka hilang.
Gue ga mau mereka pergi.
Gue ga mau mereka pergi.
Gue mau mereka ada untuk selamanya.

Ego di dalam hati gue ini memuncak.
Gue sempat melukai salah satu teman gue. Semenjak itu gue sadar, bahwa tidak semua act of love yang dilakukan seseorang berdasarkan kasih sayang sepenuhnya. Memang, kita akan melakukan sesuatu demi orang yang kita sayangi. Sadarilah, di dalam perbuatan kita tersimpan ego yang besar. Dan ego tersebut dapat melukai orang lain.

Ego tersebut membuat kita merasa memiliki orang itu.
Kita jadi posesif, ga mau orang tersebut dekat dengan orang lain. Ga mau melepaskan orang tersebut. Padahal, kalau kita sayang dengan seseorang, kita harus membiarkan mereka menjadi mereka, bukan menjadi apa yang kita pikirkan. Gue sendiri sadar, untuk melepas orang yang kita sayang adalah berat.

Terkadang butuh satu atau dua tetes air mata.

Tapi, kalau kita memang sayang. Kita akan melihat mereka pergi, dengan senyuman walau berurai air mata.

Let it go although it is painful.


That's all.

5 komentar:

  1. ebuset dah tumben tulisan lo galau bener :D
    btw gue juga seringkali ngerasa sepi, walau temen banyak, walau orang byk yg lalu lalang :'(

    BalasHapus
  2. ah sial... bagian keluarga itu bikin galau abis Y__Y

    BalasHapus
  3. -___- ngeliat tulisan ini jadi kayak berkaca. tapi bedanya, gue introvert dan gue cuma ga terlalu nyaman kalau ada org yg masuk 'zona aman' gue. temen ya banyak,tp ga boleh ada yg terlalu dekat. aneh yak..

    BalasHapus
  4. bagus nih tulisannya :)
    dan tulisan ini juga bikin galau --
    mulai dari awal ngerenungin, makin ke bawah galau, galau, galau azzz-_-

    BalasHapus
  5. Kita semua punya topeng, tapi tergantung kita mau berperan penuh pada karakter dan "nasib" topeng kita, atau masih mau menaruh kesadaran pada ego kita yang mungkin aja itu hanyalah topeng lainnya yang berlapis menutup wajah kita.

    Gue setuju banget sama bagian awal tulisan ini, bagi gue pun belum ada orang yang gue anggep sebagai sahabat, yang ada adalah temen SD, temen SMP, temen SMA, temen les, ah semua formalitas.

    Tapi diantara semua keterikatan status dalam keluarga, sekolah juga yang lainnya, masih ada pilihan buat kita memilih untuk "nganggep" mereka temen atau enggak, begitu kita udah memilih, quote ini baru berlaku :

    “Friends are the family we choose for ourselves” - Edna Buchanan

    BalasHapus

Silakan berkomentar :D

Diberdayakan oleh Blogger.

Subscribe