For I am the Judge.
Tidak lama sebelum tulisan ini jadi, tepatnya tanggal 21 Maret 2015, setidaknya sebagian masyarakat dunia merayakan World Day for Elimination of Racial Discrimination. Ya kalau diterjemahkan secara literal juga jelas, hari untuk menghapuskan diskriminasi rasial.
Selain hari dunia untuk isu rasial, pergerakan melawan diskriminasi gender, contohnya emansipasi ataupun Feminisme, sudah lama muncul dan terus berkembang. Agama? Contohnya bisa dilihat di berbagai situs bahwa meski ada propaganda bahwa Islam = teroris, banyak yang tidak berhenti untuk menujukkan kasih dan hormat kepada umat Muslim, terutama di negara barat.
Satu lagi yang masih berkembang, perjuangan demi kesetaraan seksualitas - LGBT. Perjuangan ini masih mendapatkan berbagai perlawanan di berbagai belahan dunia, salah satunya di Indonesia. Sebagian masyarakat negara yang mengaku agamis ini mengaku tidak cocok dengan kaum LGBT. Meski demikian, selain orang-orang secara anonim mengasihi kaum LGBT, ada juga yang secara blak-blakan muncul, seperti Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, University of Indonesia, bisa dicek di twitter: @SGRCUI.
Memang, beberapa tahun belakangan, atau karena memang gua baru memasuki masanya, makin banyak yang cuap-cuap untuk tidak menghakimi orang lain - berdasarkan apapun yang ada dalam dirinya. Terutama karena sedang santer sekali di kalangan remaja gawl mengenai isu global: diskriminasi gender, agama, rasial, maupun orientasi seksual. Banyak yang akhirnya membuka dirinya - meninggalkan sikap menghakimi.
Tapi, mengapa kita suka menghakimi?
Pikiran sotoy seseorang berkata bahwa hal tersebut dimulai sejak kita kecil. Kita diajarkan untuk membedakan bentuk, ukuran, jumlah, bahkan baik-buruknya sesuatu. Mulai dari segitiga, besar, sedikit, hingga siapa yang nakal dan siapa yang baik. Kemampuan menilai itu pun makin berkembang seiring pertumbuhan diri dan dinamisnya kehidupan sosial di Bumi.
Sampai kemudian ada yang mulai 'sembuh' dari 'penyakit' lama tersebut dan menyuarakan, "Don't judge a book from its cover."
Intinya keterbukaan pikiran dan jiwa makin dipromosikan di seluruh dunia, menandakan bahwa dunia makin mengalami kemajuan.
Bagus, lalu kenapa?
***
Dua kalimat sebelum ini memiliki beberapa kata yang dimiringkan, karena penulis berpendapat bahwa ketiga hal tersebut bukanlah sesuatu yang absolut - adjectives are subjective.
Apakah penulis tidak mendukung penghapusan diskriminasi rasial?
Agama?
Gender?
Seksualitas?
Maaf mengecewakan, penulis tidak memosisikan (atau memposisikan, jikalau ada ahli ketatabahasaan Indonesia) dirinya sebagai pendukung ataupun penolak. Mengaku netral pun tidak mau.
Apa yang dipermasalahkan?
Kita bisa lihat bahwa memang katanya bagus bahwa kita makin membuka diri. Tapi apakah kita memang sepenuhnya membuka diri? Seringkali kita ajakan untuk membuka pemikiran kita, tapi untuk apa? Membuka dan memproses, atau membuka lalu mengalami doktrinisasi? Sudah berapa kali lawan argumen meminta kita membuka diri agar pendapatnya menang? Sudah berapa kali kita menyuruh orang membuka pikirannya agar kita bisa menuangkan ember argumen kita ke dalam kepalanya?
Di era keterbukaan ini, mereka yang tidak terbuka dianggap tidak maju.
Makanya banyak yang berbondong-bondong beli pomade, pakai celana skinny, beli high heels, rambut diombre, gadget ini-itu. Semua bukan produk lokal ataupun pribadi. Kalau tidak ikut, maka akan dibilang ketinggalan zaman.
Lebih lanjut lagi, sadar tidak sadar, biar dibilang gaul beramai-ramai ikut ism-ism ini itu. Kemudian berusaha mendoktrin orang lain seolah-olah dirinya sudah mengamalkan ism tersebut dengan sempurna. Kalau ditolak, akan pakai jargon, "Open your mind!"
Kalau tidak terbuka, maka dianggap terbelakang.
Kalau tidak ikut trend, maka dianggap tidak berkembang.
Kalau tidak mengerti modernitas, maka dianggap salah.
***
Keterbukaan nampaknya merasa dirinya menjadi agama. Yang tidak terbuka masih dianggap gama, kacau, masih Jahilliyah. Semua yang tertinggal dianggap salah. Maju benar, diam salah. Yang mempertahankan ideologi dirinya yang dianggap telah usah akan dinilai sebagai kolot dan salah. Yang masih menyamakan kaum LGBT dengan pengikut setan akan ditertawakan. Yang masih menganggap rendah perempuan akan dibenci.
Di mana masalahnya?
Keterbukaan yang ditujukan untuk mengurangi penghakiman dan kebencian, saking berkembang dengan pesatnya, sukses menjadi sumber penghakiman dan kebencian. Konsep keterbukaan nampak sebagai sesuatu yang eksklusif - punya kelompok tertentu.
Pernah seorang yang sotoy dengan naifnya tersenyum mendengar bahwa keterbukaan pemikiran sedang digalakkan. Tapi ternyata dia kecewa, harus dihapusnya dengan susah payah bahwa keterbukaan hanya sekedar jargon, untuk mengeliminasi pemikiran lain. Tidak ada bedanya dengan yang sudah-sudah. Penghakiman status dan polisi ide masih terus ada.
Maka, apakah terbuka sama dengan berkembang?
That's all.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar :D