Jumat, 03 Januari 2014

Bacot

Mulutmu harimaumu...
...atau orang lain aja yang milih-milih?

Tahun lalu (which is still fucking some days ago), gua mencak-mencak mulu di twitter.
Diksi gua kasar, ngata-ngatain seenaknya, dan bikin orang kesel.

Selama itu pula, gua memperhatikan cara orang lain merespon. Ada yang secara gamblang mention ke gua dan bilang "Gua ga suka cara bicara lo", ada yang no mention tapi tetep nyantumin nama gua, dan banyak lagi yang no mention dan/atau ngeretweet hal yang relevan dengan sindiran. Lucu-lucu banget, emang.

Namun, masih ada sedikit yang merespon dengan "positif" (diberi tanda kutip karena bersifst subjektif). Mereka yang positif ini mungkin setuju dan/atau mengerti apa yang sebenarnya gua bicarakan melalui tweet yang kasar. But, I don't take this as flattery.

Sebagian lagi gua jelasin secara gamblang, karena gue percaya bahwa mereka lumayan pengertian.

...

Orang bilang, "Mulutmu harimaumu". Tergantung isinya, yang keluar dari mulutmu akan menyebabkan sesuatu. Di sisi lain, orang juga bilang, "Jangan nilai buku dari sampulnya". Dua hal tersebut bikin gua bingung. Mengapa kita menghakimi orang lain berdasarkan apa yang dia ujarkan? Mengapa kita termakan ucapan kita sendiri?

Fenomena dan nomena?

(Kenapa) Orang dinilai berdasarkan apa yang diujarkan(?). Kalimat > diksi > cara pikir > pendidikan dan lingkungan > status sosial. Mengapa bukan berdasarkan apa yang ingin dia sampaikan? Zaman serba instan? Posmodernisme? Yang penting packagingnya, bungkusnya?

Mungkin, karena kita dilatih untuk melihat unsur intrinsik secara mendalam hanya pada apa yang nampak, bukan pada pesannya, kita jarang melihat dengan hati. Berpikir dua kali. Kita terlalu bergantung pada 5 indera saja, karenanya kita terfokus pada apa yang terasa, bukan apa yang ingin disampaikan.

Di sisi lain, apakah social media - di mana orang "mengekspresikan" dirinya - bisa dijadikan sarana untuk menilai seseorang?

Mulai dari nama akun yang berisi bahasa alay, luar negeri, sophisticated, dan lainnya yang tidak merujuk pada nama asli. Kemudian diikuti dengan biodata singkat yang dibuat sekreatif mungkin. Pilihan teman yang nampak. Sampai aktivitas utamanya: mengupdate status tentang dirinya, yang dipikirkan dengan matang.

Yakinkah anda bahwa seseorang benar-benar sedang menjadi dirinya sendiri di social media?

...

Penilaian terhadap orang lain memang alamiah, manusiawi, dan sah-sah saja. Tiap orang diperbolehkan untuk dan memang memiliki perspektifnya masing-masing. Namun, haruskah penilaian tersebut dilaksanakan dengan kurun waktu yang begitu singkat? Haruskah kita selalu berpaku pada cara memandang dan pandangan yang sama setiap saat, meski alam semesta ini luas?

Entah.


That's all.

3 komentar:

  1. kalo gue suka jadi orang lain di sosial media. bukan sengaja, cuma kebawa aja. kadang, pas buka sosial media rasanya ngalir gitu aja. tahu-tahu udah lama banget mantengin tuh media.

    nice post. salam kawancut. :))

    BalasHapus
  2. Emang sekarang banyak orang yang ngeliat sesuatu dari luar. Sama kayak orang dulu mencibir Gus Dur (karena ngga ada yang ngerti sama ucapan beliau). ketika beberapa tahun ternyata ucapan tersebut benar (tentu sifatnya implisit) dan orang baru sadar, 'oooh, jadi ini toh maksudnya Gus Dur dulu.' Baru sok-sokan ikut beliau. :))

    BalasHapus

Silakan berkomentar :D

Diberdayakan oleh Blogger.

Subscribe