Hidup itu proses pembelajaran yang dibatasi.
Kita diharuskan mengenyam pendidikan yang sudah dipilih-pilah oleh guru dan orang-tua. Sama seperti demokrasi, kita memilih yang sudah dipilihkan orang lain. Inilah yang baik, sedangkan yang itu buruk. Orang-orang mengatur apa saja yang jadi bahan untuk melawan id.
Sebagai orang awam, saya sampai sekarang tidak kuat jika mendengar anak balita berkata, "Mau.". Amygdala memang tumbuh duluan, sehingga diklaimlah manusia lahir sebagai perasa. Namun, perasaan itu bukan hanya soal feeling tetapi juga desire. Sejak kecil kita sudah memuaskan hasrat kita dengan mengunyah dan menggigit. Ingin tahu, ingin merasa, ingin makan. Karenanya, saya selalu ingat betapa nafsu adalah salah satu sifat manusia yang paling mendasar.
Kemudian, kenapa harus kita sangkal?
Karena kita punya nilai. Ada nilai yang kita junjung, maka ada aturan main agar nilai itu tetap tercapai. Moral datang dari buku dan masyarakat. Kita menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Kadang overlap sehingga moral dianggap mutlak. Jika A, maka B.
Manusia datang dari sana-sini dengan jumlah serta alasan beragam. Aku anggap ini mutlak, sedangkan kamu tidak. Perbedaan terus ada. Dua benda yang melaju ke satu titik seringkali bertubrukan. Makanya, sampai sekarang saya penasaran, konflik apakah yang pertama kali terjadi di dunia ini?
Meski konflik terus ada, masing-masing kita berusaha agar orang lain berbagi kemutlakan yang sama.
Karenanya, kita pilih-pilah apa yang dikonsumsi dan diproduksi.
***
Saya adalah satu dari sekian orang yang disuapi kemutlakan.
Lahir sebagai X, bertumbuh sebagai X, dan memilih sebagai X. Hal ini cuma contoh biasa yang memang terjadi dalam banyak masyarakat. Karena teman-teman saya juga demikian; lahir sebagai Z, bertumbuh sebagai Z, dan memilih sebagai Z. Tidak ada bedanya.
Di Indonesia, saya tinggal di daerah bernama Gunung Putri dan bermain-main hingga ke daerah lainnya di Bogor dan Jakarta. Tentu mata dan telinga saya tidak jatuh di situ saja. Televisi, buku, musik, film, dan internet membantu saya melihat dunia lebih banyak lagi.
Disampaikanlah di sana oleh beberapa bahwa nilai itu harus dijunjung setinggi-tingginya. Yang menjunjung dengan pendek akan masuk neraka. Saya pun menyaksikan orang saling menyelamatkan satu sama lainnya agar tidak masuk ke neraka. Tak lama, nampaknya mereka belum puas. Bukan karena yang mereka selamatkan itu sedikit. Karena nilai tersebut belum terjunjung setinggi-tingginya.
Nilai yang mana? Menurut siapa?
Umat bernilai berusaha untuk menyenangkan sesuatu di atas nilai itu sendiri. Tuhan? Malaikat? Nabi? Rasul? Agama? Kitab? Lama saya cari alasannya, kenapa semua hal ternilai tersebut perlu repot-repot dicapai dan dimuliakan.
Awalnya, banyak yang berpikir; semakin banyak peserta, semakin tinggi junjungannya. Manusia pun secara alamiah belajar marketing dan propaganda, sampai akhirnya beralih pada kabar baru: surga itu sempit. Pertama, mereka mengusir orang dengan nilai berbeda.
Tjap heathen sudah lumayan melekat pada diri saya. Bagaimana tidak? Di SD, SMP, SMA, dan bahkan beberapa momen saat kuliah, disebutkan istilah non-Itu. Pertanyaannya, apakah hal itu digunakan untuk membedakan mayoritas dan minoritas? Atau untuk membedakan mayoritas dari minoritas? Atau ternyata kelurahan ultra besar ini cuma ada Itu sementara yang lain itu bukan warga asli.
Selain itu, secara pribadi belum ada pertentangan keras dari Itu. Eh, ada sih. Dari dulu sudah ada usaha dari warga sekitar untuk menutup gereja dekat rumah saya. Alasannya adalah berisik. Maka, jemaat yang juga warga sekitar berkeliling mencari dukungan yang bisa dinyatakan melalui tanda tangan. Gereja itu pun masih berdiri, meski sekarang jemaat yang membawa kendaraan pribadi harus ambil rute yang lebih jauh lagi.
Lebih halus lagi sering saya rasakan di sekeliling. Sempat seorang siswa di SMA berkata bahwa diskriminasi yang liyan di Indonesia itu tidak ada. Buktinya? Itu didiskriminasi di negara lain. Acara bagi murid liyan pun tidak begitu mendapatkan dukungan.
Kedua, mereka akhirnya sadar bahwa dalam satu nilai, setiap anggota memiliki interpretasi yang berbeda. Hingga mereka menggunakan cara ketiga dan keempat; mempersempit circle dan memastikan Sang Nilai memberikannya promosi.
Tjap heathen pun juga melekat pada mereka.
Dalam hati saya bertanya pada Tuhan saya, "Surga itu sempit ya?"
Bersambung...
Tjap heathen sudah lumayan melekat pada diri saya. Bagaimana tidak? Di SD, SMP, SMA, dan bahkan beberapa momen saat kuliah, disebutkan istilah non-Itu. Pertanyaannya, apakah hal itu digunakan untuk membedakan mayoritas dan minoritas? Atau untuk membedakan mayoritas dari minoritas? Atau ternyata kelurahan ultra besar ini cuma ada Itu sementara yang lain itu bukan warga asli.
Selain itu, secara pribadi belum ada pertentangan keras dari Itu. Eh, ada sih. Dari dulu sudah ada usaha dari warga sekitar untuk menutup gereja dekat rumah saya. Alasannya adalah berisik. Maka, jemaat yang juga warga sekitar berkeliling mencari dukungan yang bisa dinyatakan melalui tanda tangan. Gereja itu pun masih berdiri, meski sekarang jemaat yang membawa kendaraan pribadi harus ambil rute yang lebih jauh lagi.
Lebih halus lagi sering saya rasakan di sekeliling. Sempat seorang siswa di SMA berkata bahwa diskriminasi yang liyan di Indonesia itu tidak ada. Buktinya? Itu didiskriminasi di negara lain. Acara bagi murid liyan pun tidak begitu mendapatkan dukungan.
Kedua, mereka akhirnya sadar bahwa dalam satu nilai, setiap anggota memiliki interpretasi yang berbeda. Hingga mereka menggunakan cara ketiga dan keempat; mempersempit circle dan memastikan Sang Nilai memberikannya promosi.
Tjap heathen pun juga melekat pada mereka.
Dalam hati saya bertanya pada Tuhan saya, "Surga itu sempit ya?"
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar :D