Selasa, 26 April 2016

Dari A Kepada Gama

Discord and Harmony
are merely concept.

credit: Redd Angelo | unsplash.com

sambungan dari Belajar Membenci...

Katekisasi, dalam sebagian gereja, adalah semacam kursus untuk mendapatkan SIM. Surat Izin Menikah. Selama mengikuti proses, tidak sedikit yang memandang saya memang serius mengikutinya - alias memiliki iman yang lumayan. Berusaha tidak terlambat, menyelesaikan tugas, menjawab ujian dengan baik, dan tetek-bengek pemakan waktu lainnya. Bahkan, saat retreat dimana mata peserta ditutup dan harus berjalan sesuai tujuan, saya tidak tergoda dibuat tersasar; dengan sok tahu, keras kepala, dan menggunakan perkataan ibu pendeta sebagai dasar, saya jalan terus.

Nyatanya, pada saat peneguhan dan pendeta bertanya kepada saya, apakah saya akan mempertahankan iman saya apapun yang terjadi, saya terdiam sejenak. Secara fisik, saya diam selama tiga detik. Secara batin, saya diam tiga puluh menit. Setidaknya itulah klaim saya.

Sebelum akhirnya menjawab, "Ya, dengan segenap hatiku," saya bertanya kepada diri sendiri apakah jawaban ini genuine. The Mercy's saja bisa meragukan ucapan sayangmu, nak; apalagi Tuhan. Saya terdiam menatap bapak pendeta yang tengah memegang mic, "Saya harus jawab apa?". Saat itulah mengeras sudah pemikiran bahwa selama ini partisipasi saya dalam kegiatan katekisasi tersebut hanyalah karena adanya tuntutan sosial.

...

Semakin besar, semakin luas pula cakupan informasi yang saya konsumsi. Saya menyaksikan FPI menjadi pecalang saat bulan puasa, serangan biarawan terhadap muslim Rohingya, atau yang ada di masa lalu: Nazi - sebuah gerakan Katholik. Lucunya, saya tidak kaget dan tidak marah. Tidak pernah ada ekspektasi kepada agama.

Kemudian, apakah saya? Agnostik atau atheis?

Pendirian bahwa Tuhanlah sang Pencipta dan Pengatur tetap teguh di hati dan pikiran. Betapapun sekulernya kebiasaan saya, otak belum mampu membayangkan bagaimana tiada menjadi ada.

Selain itu, secara kekristenan, dari dulu Tuhan menyuruh saya untuk melayani Dia dan yang lain, bukan agama. Tuhan, dalam Alkitab - sebacanya saya, tidak pernah menyuruh saya menjadi seorang Kristen. Dari sekian banyak perintah-Nya, menyembah dituntut kurang dari melayani. Dibanding dengan apa yang dikatakan dosen saya dulu, "Kebanyakan orang kita beragama hanya sekedar ritual saja."

Wah, tidak ada bedanya dengan kepercayaan kakek-nenek moyang ya?

Mungkin sebagian kita bertanya, kemanakah perintah Tuhan yang lain? Wah, homo economicus memang selalu cari untung. Seperti aturan yang dibuat untuk dicari lubang tikusnya, tidak sedikit yang menjalankan agama sesuka dirinya. Demi nafsu.

Nafsu mungkin memang genius. Dikunci, dipagari, ataupun dikubur, tetap saja tahu bagaimana caranya untuk bisa direalisasikan. Hubungannya dengan agama? Bukankah agama memerintahkan manusia untuk menahan nafsunya?

Mas, mba, pak, bu, sejak kapan agama tidak bisa disetir?

Sekitar tahun 2000an, jelas di ingatan, keluarga saya dengan riang gembira atas adanya partai Kristiani yang ikut dalam pemilu. Atribut partai tersebut pun entah darimana bisa ada di rumah saya. Bahkan stikernya masih nangkring di jendela kamar belakang. Sebagai anak kecil pada waktu itu, saya cuma bisa ikut hore-hore. Namun, tak lama, sama seperti saat katekisasi, muncul pertanyaan, "Benarkah partai 'beragama' bisa mewakili agama?".

Dalam mata kuliah reading di kampus dulu, kami belajar tentang propaganda yang digunakan dalam iklan. Generalisasi menarik perhatian saya. Contoh dari generalisasi adalah semua orang Indonesia menggunakannya atau 9 dari 10 wanita memilihnya. Hal inilah yang nampaknya diterapkan dalam partai: partai kami isinya (mungkin) beragama ini semua.

Gimmick agama dalam partai tidak jauh dari sinetron yang entah kenapa semuanya beragama Itu. Sinetron apapun bisa tiba-tiba diganti atau menjadi special tidak makan. Itu-itu saja isinya. Selain itu, entah kenapa produk di Indonesia bisa jadi menggemparkan kalau tidak ada kata boleh di dalamnya. Semuanya harus diperbolehkan dahulu kalau mau dibeli orang. Meski tidak jelas juga barangnya kenapa bisa diperbolehkan.

Selain itu saya ingat juga pada tayangan tidak informatif mengenai seseorang yang ingin punya istri lagi - yang masih anak-anak. Sebagian bilang boleh, karena Nabi saja begitu. Wah, nampaknya orang kita sudah memiliki sesuatu sekelas Nabi. Beda dengan orang yang mengaku Nabi - yang dibully habis-habisan melalui media.

Melihat semuanya itu, mata saya jadi lebih parah daripada buta warna. Pertama saya merasa senang, tapi agak sedih saat bertanya, memang begitukah sifat kemaha-hadiran Tuhan kita? Tuhan hadir, tapi kemuliaan-Nya kenapa cuma berupa barcode, transferan, atau nasi bungkus?

Tiba-tiba terkilas dalam pikiran, masa kecil hingga sekarang. Nampak betapa saya dengan tulusnya berdoa dimulai dengan "Tuhan Yeesuuus..."; menaruh semua harapan pada Dia; hingga sekarang duduk diam, menutup mata, dan kegelapan sajalah yang terlihat. Lalu, saya memilih untuk tidak terlalu dekat dengan Tuhan. Setidaknya, jauh dari sikap SKSD

Sebab saya selama ini tidak tahu; benarkah Tuhan sepenuhnya mengendalikan apa yang saya lakukan?

bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar :D

Diberdayakan oleh Blogger.

Subscribe