Kamu melihat semampumu.
Ingin ataupun tidak.
credit : Clem Onojeghuo | unsplash.com |
Sore itu saya duduk di halaman rumah nenek. Masjid-masjid sudah melantunkan doa dan syair dalam bahasa yang tidak kumengerti. Disertai suara neon di bawah pohon. Juga getaran daun yang bergesek. Cahaya murni diganti dengan yang semu.
Warna senja itu oranye, abu, dan biru. Begitu tenang dibanding dengan siang yang benderang. Sebagai pemilik mata berbeda, tidak kutahu apakah ini yang juga dikecap orang lain.
Mataku melihat dengan berbeda. Bagaimana dengan telinga dan indera lainnya? Lantas sudah sesuaikah pikiranku dalam mengolah sekeliling sehingga bisa sama mengerti dan dimengerti?
Program dari atas menciptakan keragaman dan keseragaman. Saya belum bisa seragam. Apakah ini sebuah anomali?
Ragam adalah anomali tanpa penerimaan dari yang seragam. Berbedanya kamu tidak menentukan diterimanya kamu. Seberapa signifikan atau populernya dirimu, itu yang penting.
Biarpun ada yang bisa menerimamu, itu temporer. Sementara. Mereka yang menerimamu berpikir dengan ragam serta dinamis. Esok, kamu bukan lagi perbedaan yang penting. Nanti, dirimu sudah terganti dengan yang lain.
Jalan keluar termudah adalah menjadi alat. Namun suatu perangkat tidak berguna di segala urusan. Bantuan tidaklah menolong jika tidak diperlukan.
Lalu kemanakah kita akan pergi?
Kepada siapa sajakah kita akan berpegangan tangan dan kembali?
Atau, pertanyaanku yang salah. Keberadaanku bisa saja bukan punyaku, bukan milik orang lain, atau bukan hak segala yang abstrak.
Kuhela nafas, aku kembali sadar akan diriku yang berbeda. Telingaku lebih sensitif terhadap isi kepala daripada kelelawar, serangga, dan angin pada senja ini.
That's all.
Cukup sempurna bahasanya. Btw aku abis follow blog ini, boleh followbacknya kak?
BalasHapuswillynana.blogspot.com