Saya tidak tahu caranya.
Saya pikirkan tulisan ini saat membeli nasi goreng, setelah selesai mendengarkan Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti. Sebuah lagu oleh Banda Neira, yang berita bubarnya kudengar lebih dahulu sebelum lagunya.
Di sebuah bangku kayu di Jakarta, kutatap langit menjelang malam Jakarta. Sesuatu yang tak pernah kutatap sejak kecil dahulu di sebuah kolam renang yang ada di Ciledug. Langit yang kosong, hanya mesin pesawat bergema, sisanya kosong dan jauh. Membuat saya merasa teralienasi. Sejak itu kuputuskan tidak lagi kulihat kekosongan di atas sana.
Dari langit, kepalaku turun ke tanah, tempatku berada. Kembali mempertegas posisiku yang di bawah sini, yang sendiri, yang bersama ketiadaan. Tanpa uang banyak, tanpa kawan, tanpa ingin, tanpa rasa. Nampaknya langit menjelang malam Jakarta menyapaku dengan menjangkiti sedikit ketiadaan.
Lalu kupikir, siapakah aku ini. Apakah yang berharga dari dan untukku? Rumah bukan rumah lagi. Kusinggah sebentar pada malam sebelum kembali ke rumah, sebelum kembali pergi setelahnya. Kalau uangku banyak dan tidak mampu habis, sudah kusewa kamar kos-kosan. Sudah kuajak sepi mengobrol di ruanganku. Di tengah dunia yang bising, kesunyian menjawab.
Sayang tidak bisa kudapatkan sepi.
Pun kepala melipir kepada yang sedang kucintai, yang ada di kota sebelah. Ketiadaan membisik pertanyaan. Apa yang buatnya bersamaku sekarang. Apa yang buatnya bersamaku nanti. Aku punya ketiadaan, tapi aku tetap belum tiada.
Saya tidak punya apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa. Saya tidak mampu sombong atas ketiadaan. Tidak ada yang melakukannya.
Kemudian kuingat tangan dan senyumnya.
Sekarang cukup, pikirku.
Nanti mau lagi, inginku.
Kutulislah ini sebelum menyantap nasi gorengku.
That's all.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar :D