Because I don't know if I am allowed to feel.
"Astronaut in Spacesuit Floating in Space" by NASA | unsplash.com |
Nth day of working from home and socio-physical distancing.
Saat WHO, pemerintah, dan masyarakat fokus pada physical distancing, gue tetep menjalankan social distancing. I drown myself in my job. Compiling, editing, and mixing the audio files into one-hour file. The rest of the days: playing PUBG, texting my lover, and watching YouTube.
Nope, gue ga buka PornHub dan Fakku meski sedang "free subscription," soalnya internetnya lelet banget kalo pake VPN.
Gue juga males kontak dengan manusia. Yang rutin telponan sama gue bukan pacar, melainkan bos kalo ngga orang kantor yang ada urusannya buat siaran. Pokoknya cuma buat kerjaan, biarpun dari siang sampe malem.
Sama pacar pun ya pelan-pelan aja. Dia ada sibuk urus rumah dan kadang-kadang lagi nonton TV atau YouTube, gue juga ada sibuk kerja dan lainnya. Meski tetap texting seharian, ada jarak in between the texting.
Terakhir Zoom sama temen-temen komunitas blogger ngeghibahin orang dari jam setengah sembilan sampai jam setengah satu malam.
Di luar itu, gue mulai membatasi diri.
Why?
Saat kondisi sedang jauh dari orang-orang, gue semakin sadar bahwa gue ternyata tidak dekat dengan orang-orang. Dengan menjauh, I can see it clearly, I have more time to think about it without them interfering.
Memang mereka terkadang cerita ke gue tentang keresahan, amarah, dan lainnya yang dialami. Gue coba mendengarkan dengan baik dan kasih respon. Namun, gue merasa mereka sama sekali bukan tempat yang tepat untuk menyampaikan keluh kesah gue. Like what I am feeling is actually not important because it is only happening inside me. It is not real for them and they are not the one who are feeling it.
Lebay, kata mereka, atau baperan lo.
Gue mencoba mengevaluasi ulang apakah semua yang gue rasa ini ada penyebabnya, apakah gue berhak untuk merasakan itu, dan apakah gue berhak untuk mengekspresikan apa yang gue rasa.
Dari respon mereka sih, jawabannya tentu saja tidak.
Kemudian, apabila amarah muncul, gue mencoba diam. Apabila sedih muncul, gue mencoba diam. Apabila kecewa muncul, gue mencoba diam. Diam sebab gue ragu apakah yang gue rasa itu tepat sasaran dan patut untuk dikeluarkan.
Lalu yang bisa gue lakukan adalah membenamkan diri pada pekerjaan, main game, nonton YouTube, dan tidur. Dengan demikian, lebih sedikit yang gue rasakan. The less I feel, the less time and energy I need to spend in my quest to find if I have the right to feel or not.
Bahkan gue kesulitan menuliskan postingan ini. Sebab yang ada di kepala gue adalah suara mereka yang terus bilang:
"Lebay lo"
"Itu cuma di pikiran lo doang"
"Ngapain sih lo pikirin?"
"Lo yakin sama yang lo rasakan?"
"Mungkin ga sih sebenernya tuh ga kaya yang lo pikir?"
"Apaan sih, gitu doang!"
Intinya, saat ini, gue merasa I don't belong to any circle or close friend. I don't know what and how to feel.
That is all(?)
beberapa hal sepertinya juga saya rasakan, yaa, semakin ada jarak sama orang orang, gatau kenapa
BalasHapus